Beranda | Artikel
Kembalilah Wahai Jiwa Yang Tenang
Jumat, 6 Juli 2018

KEMBALILAH WAHAI JIWA YANG TENANG

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc MA

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ﴿٢٧﴾ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً﴿٢٨﴾فَادْخُلِي فِي عِبَادِي

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku! [Al-Fajr/89:27-30]

TAFSIR RINGKAS
(27) “Wahai jiwa yang tenang!” yaitu jiwa yang membenarkan dan mengimani janji baik dan ancaman dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang ada dalam kitab-Nya berdasarkan lisan Rasul-Nya, kemudian dia beriman, bertakwa dan berlepas diri dari kesyirikan dan keburukan. Jiwa itulah jiwa yang tenang lagi mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan jiwa yang bahagia karena kecintaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan kecintaan terhadap apa yang ar-Rahmân janjikan untuknya.

(28) “Kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya!” yaitu kembalilah ke sisi-Nya di dalam negeri pemuliaan-Nya dalam keadaan engkau ridha dengan balasan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untukmu dan engkau diridhai oleh Rabb-mu.

(29)“Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku,” maksudnya ke dalam golongan para hamba-Ku yang shalih.

(30)“Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” Perkataan ini diucapkan ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan ruh-ruh ke dalam jasad-jasadnya di yaumul-ma’âd (akhirat). Jika sudah kembali, maka para Malaikat mengucapkan salam, kemudian digiring ke tempat penghisaban dan diberikan kitabnya dengan tangan kanannya, kemudian dikatakan kepadanya, “Masuklah ke dalam golongan-golongan hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” setelah melewati shirath (jembatan).”[1]

PENJABARAN AYAT
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Wahai jiwa yang tenang!

Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perkataan yang diucapkan oleh para Malaikat kepada jiwa yang muthmainnah (tenang), “Wahai jiwa yang muthmainnah (tenang)!”

An-Nafsu (jiwa) memiliki dua makna.[2] Makna yang pertama adalah sesuatu secara keseluruhan atau tubuh manusia, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَىٰ مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ

Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allâh, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allâh). [Az-Zumar/39:56]

Begitu pula firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. [Al-An’am/6:151]

Dan makna yang kedua dari an-nafs adalah ruh yang dengannya jasad bisa hidup, sebagaimana dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb ku. Sesungguhnya Rabb ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Yûsuf/12:53]

Makna kedua inilah yang dimaksud dalam surat al-Fajr yang sedang kita bahas ini.

ARTI AN-NAFSU AL-MUTHMAINNAH
Para Ulama berselisih pendapat tentang arti dari an-nafsu al-muthmainnah pada ayat ini dan juga berselisih kapankah perkataan ini diucapkan kepada jiwa tersebut.

Di antara arti yang disebutkan oleh para Ulama adalah sebagai berikut:

  1. Dia adalah al-mushaddiqah (jiwa yang membenarkan atau mengimani) apa yang Allâh Azza wa Jalla firman. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan pendapat al-Hasan rahimahullah mirip dengan ini yaitu: jiwa yang membenarkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala katakan dan mengimaninya.
  2. Dia adalah jiwa yang tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini adalah pendapat Qatâdah rahimahullah.
  3. Dia adalah jiwa yang yakin bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Rabb-nya, yang tunduk terhadap perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan taat kepada-Nya. Ini adalah pendapat Mujâhid rahimahullah.
  4. Dia adalah jiwa yang ridha dengan takdir Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini adalah pendapat ‘Athiyyah.

Allâhu a’lam tidak ada pertentangan dari keempat pendapat yang disebutkan di atas, sehingga kita bisa memahami bahwa yang dimaksud dengan an-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jiwa yang selalu membenarkan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala katakan dan jiwa yang taat kepada perintah-perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena konsekuensi dari keimanan adalah membenarkan seluruh yang Allâh katakan dan taat kepada seluruh perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

KAPANKAH MALAIKAT MENGATAKAN PERKATAAN INI KEPADA JIWA YANG TENANG?
Para Ulama juga berselisih pendapat tentang kapankah perkataan ini diucapkan, di antara pendapat-pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut:

  1. Ini diucapkan ketika jiwa tersebut keluar dari jasadnya ketika dicabutnya ruh sebagai kabar gembira akan keridhaan Rabb-nya kepadanya dan kabar gembira tentang apa saja yang disediakan untuk pemuliaannya. Ini adalah pendapat Said bin Jubair dan Abu Shalih rahimahullah.
  2. Ini diucapkan ketika jiwa seorang Mukmin dibangkitkan dan diperintahkan untuk kembali kepada jasadnya. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan adh-Dhahhâk.
  3. Ini diucapkan ketika jiwa tersebut wafat, ketika jiwa tersebut dikumpulkan dan ketika jiwa tersebut dibangkitkan. Ini adalah pendapat Zaid yang diriwayatkan dari anaknya, Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.

Sedangkan Imam ath-Thabari rahimahullah lebih condong kepada pendapat yang kedua, beliau mengatakan, “Pendapat yang lebih utama adalah perkataan yang kami sebutkan yang berasal dari Ibnu ‘Abbas dan adh-Dhahhâk bahwasanya perkataan ini diucapkan ketika dikembalikannya ruh ke jasad-jasad di hari kebangkitan, karena ditunjukkan dengan perkataan Allâh berikutnya, Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!”

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya!

KAPANKAH PERKATAAN INI DIUCAPKAN?
Allâhu a’lam, jika berpegang kepada pendapat Sa’id bin Jubair dan Abu Shalih di atas, maka maksud ayat ini adalah, “Kembalilah kepada Rabb-mu” adalah kembalilah kamu kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Rabb di sini berarti ar-Rabb yaitu Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Al-Hasan mengatakan, “Kembalilah kamu kepada balasan Rabb-mu dan kepada pemuliaan-Nya dalam keadaan kamu ridha dengan apa yang Allâh sediakan untukmu dan dalam keadaan diridhai oleh Rabb-mu.”

Jika berpegang dengan pendapat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dan adh-Dhahhâk rahimahullah di atas, maka arti dari “Kembalilah kepada Rabb-mu” adalah kembalilah kepada jasadmu, karena arti rabb di dalam bahasa Arab adalah pemilik, sehingga dikatakan, “Kembalilah kamu wahai jiwa yang tenang kepada pemilikmu, yaitu jasadmu sendiri.” Ini dikatakan setelah manusia dibangkitkan.

Untuk menimbang permasalahan ini, ada baiknya penulis menyebutkan beberapa dalil tentang jiwa yang tenang ini.

PROSES PENCABUTAN NYAWA
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حُضِرَ الْمُؤْمِنُ أَتَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحِ اللهِ ، وَرَيْحَانٍ ، وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانَ ، فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ الْمِسْكِ ، حَتَّى أَنَّهُ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ، حَتَّى يَأْتُونَ بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ : مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ مِنَ الأَرْضِ ، فَيَأْتُونَ بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَشَدُّ فَرَحًا بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ يَقْدَمُ عَلَيْهِ ، فَيَسْأَلُونَهُ : مَاذَا فَعَلَ فُلاَنٌ ؟ مَاذَا فَعَلَ فُلاَنٌ ؟ فَيَقُولُونَ : دَعُوهُ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا.

Sesungguhnya seorang Mukmin ketika akan meninggal dunia, datanglah para Malaikat rahmat dengan membawa sutra putih dan mereka berkata, ‘Keluarlah dalam keadaan ridha dan diridhai menuju rahmat dan raihan (rezeki) Allâh dan menuju Rabb yang tidak murka. Kemudian keluarlah ruh tersebut seharum bau misk. Kemudian sebagian Malaikat memindah-mindahkannya kepada sebagian yang lain[3], hingga para Malaikat membawanya menuju pintu langit dan mereka (para Malaikat yang berada di sana) berkata, ‘Betapa wangi bau ini yang kalian bawa dari bumi.’ Kemudian mereka membawanya kepada ruh-ruh orang-orang yang beriman dan mereka sangat bahagia dengannya melebihi yang hilang dan kemudian datang kepadanya[4]. Kemudian mereka berkata, ‘Apa yang telah dilakukan oleh si Fulan? Apa yang telah dilakukan oleh si Fulan?’ Kemudian mereka berkata, ‘Biarkanlah dia sesungguhnya dia masih merasakan kegundahan dunia.’ …”[5]

PERKATAAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KEPADA ABU BAKAR RADHIYALLAHU ANHU TENTANG AYAT INI
Di dalam tafsir Ibni Abi Hatim disebutkan riwayat dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas c tentang perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala :Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah menuju Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya! Beliau mengatakan, “Ketika ayat ini diturunkan, Abu Bakr Radhiyallahu anhu sedang duduk dan berkata, ‘Ya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Betapa indahnya ini.’ Kemudian diucapkan kepadanya, ‘Adapun perkataan ini akan diucapkan kepadamu.’[6]

Di dalam Tafsir ath-Thabari terdapat riwayat dari Sa’id bin Jubair, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Bakr, “Perkataan ini akan diucapkan oleh seorang Malaikat kepadamu ketika wafatmu.”[7]

KISAH ABDULLAH BIN ABBAS RADHIYALLAHU ANHU KETIKA BELIAU DIKUBUR
Diriwayatkan dari Sa’id bi Jubair Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Ketika Ibnu ‘Abbas meninggal, saya hadir dalam pemakamannya. Kemudian datanglah seekor burung putih yang tidak ada yang pernah melihat bentuk burung yang seperti itu, kemudian dia masuk ke dalam keranda jenazah dan tidak dilihat burung tersebut keluar dari keranda itu. Ketika beliau dikuburkan, dibacakanlah sebuah ayat di sisi kubur dan kami tidak mengetahui siapa yang membacanya, yaitu ayat: Hai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!’.”[8]

Allâhu a’lam dari ketiga dalil yang disebutkan ini, maka perkataan Malaikat ini diucapkan ketika dicabutnya ruh atau ketika setelah dicabut ruh tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan perkataan ini diulangi juga di tempat lain, sebagaimana atsar yang berasal dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma .

Ibnu Katsir  t mengatakan, “Perkataan ini diucapkan ketika saat-saat kematian (ihtidhâr) dan di hari kiamat juga demikian, sebagaimana para Malaikat memberi kabar gembira kepada seorang Mukmin ketika saat-saat wafatnya dan ketika dia dibangkitkan dari kuburnya, maka ini juga seperti itu.”[9] Ini berbeda dengan apa yang dikuatkan oleh Imam ath-Thabari rahimahullah di atas.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي

Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!”

Para Ulama berselisih tentang arti “masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku”. Terdapat dua pendapat dalam hal ini, yaitu:

  1. Maksudnya adalah bergabunglah bersama jamaah para hamba-Ku yang shalih dan masuklah ke dalam surgaku. Ini adalah pendapat Qatadah rahimahullah.
  2. Maksudnya adalah kerjakanlah ketaatan kepadaku dan masuklah ke dalam rahmat-Ku. Ini adalah pendapat adh-Dhahhâk rahimahullah.

Allâhu a’lam tidak ada pertentangan dari kedua pendapat di atas, walaupun jika kita perhatikan makna yang lebih zhâhir (tampak) adalah pendapat pertama, tetapi apa yang dikatakan oleh adh-Dhahhâk adalah isyarat dari pengabaran Allâh dalam ayat ini agar orang yang membaca ayat ini selalu mengerjakan ketaatan kepada Allâh, sehingga di akhir hayatnya Malaikat mengatakan perkataan ini kepadanya.

Oleh karena itu, kita dapatkan Imam al-Baghawi t mengatakan, “Sebagian ulama yang memahami isyarat (bahasa) mengatakan, ‘Wahai jiwa yang tenang terhadap dunia, kembalilah kepada Allâh dengan meninggalkan dunia tersebut. Dan kembali kepada Allâh adalah dengan menempuh jalan menuju akhirat.”[10]

Ini seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُدْخِلَنَّهُمْ فِي الصَّالِحِينَ

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih benar-benar akan Kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang shalih.” [Al-‘Ankabut/29:9]

Pesan inilah yang kita tangkap ketika kita membaca atau mendengar ayat-ayat ini, kita disuruh untuk segera kembali kepada Allâh, selalu mengingat Allâh dan mengerjakan ketaatan kepada Allâh, karena jiwa manusia memiliki berbagai macam sifat, ada yang mengajak kepada ketaatan dan ada yang mengajak kepada kemaksiatan.

MACAM-MACAM JIWA ATAU RUH YANG DISEBUTKAN DI DALAM AL-QUR’AN
Para ulama menyebutkan bahwa jiwa kita memiliki tiga sifat yang berbeda, satu sifat bisa mengalahkan sifat yang lain[11]. Ketiga sifat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. An-Nafsu Al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Ini sudah kita sebutkan pada pembahasan di atas.
  2. An-Nafsu Al-Lawwâmah (jiwa yang suka menyesali dirinya sendiri). Ini disebutkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qur’an:

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ﴿١﴾ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang suka menyesali (dirinya sendiri).” [Al-Qiyamah/75:1-2]

Al-Farrâ’ rahimahullah menjelaskan jiwa jenis ini, beliau mengatakan, “Tidaklah dia mendapatkan dirinya bertakwa atau bermaksiat kecuali dia selalu mencela atau menyesali dirinya sendiri. Apabila dia melakukan kebaikan, maka jiwa tersebut berkata, ‘Mengapa saya tidak menambahnya.’ Jika dia melakukan keburukan, maka jiwa tersebut berkata, ‘Seandainya saya tidak melakukannya.’.”[12]

  1. An-Nafsu Al-Ammârah bis-Sû’ (jiwa yang suka memerintahkan kepada keburukan). Ini disebutkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qur’an:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf/12 :53]

Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jiwa-jiwa yang dimaksud adalah jiwa-jiwa hamba yang memerintahkan kepada seluruh apa yang dia inginkan oleh hawa nafsunya, meskipun bukan pada sesuatu yang diridhai oleh Allâh.”[13] Al-Baghawi rahimahullah mengartikan keburukan (as-sû’) pada ayat ini dengan “maksiat”.[14]

Dengan mengetahui ketiga sifat ini, sudah sepantasnya kita berusaha agar an-nafsu al-muthmainnah menguasai diri kita, sehingga hari-hari kita bisa dipenuhi dengan ketakwaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

KESIMPULAN
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan berikut:

  1. An-nafsu Al-Muthmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang beriman kepada Allâh, jiwa yang selalu membenarkan apa yang Allâh katakan dan jiwa yang taat kepada perintah-perintah Allâh.
  2. Perkataan yang disebutkan di dalam ayat adalah perkataan malaikat kepada ruh di saat-saat dicabut ruh tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan perkataan ini diulangi juga di tempat lain.
  3. Allâh menyuruh jiwa yang tenang untuk bergabung bersama jamaah hamba-hamba-Nya yang shalih dan masuk ke dalam surga-Nya. Dengan demikian, pesan yang bisa kita tangkap ketika kita membaca atau mendengar ayat-ayat ini adalah kita disuruh untuk segera kembali kembali kepada Allâh, selalu mengingat Allâh dan mengerjakan ketaatan kepada Allâh.
  4. Ruh manusia memiliki tiga sifat, yaitu: an-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang), an-nafsu al-lawwâmah (jiwa yang suka menyesali dirinya sendiri) dan an-nafsu al-ammârah bis-sû’ (jiwa yang suka memerintahkan kepada keburukan).

Demikian tulisan ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan nanti kita semua menjadi jiwa-jiwa yang mendengar perkataan indah ini ketika diucapkan oleh Malaikat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr wa bihâmisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafâsîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm Wal-Hikam.
  2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
  3. At-Tahrîr Wat-Tanwîr. Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Asyur. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah at-Tarikh al-‘Arabi.
  4. Jâmi’ul-bayân fii ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah ar-Risâlah.
  5. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh: Dâr ath-Thaibah.
  6. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm. Isma’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  7. Tafsir Ibni Abi Hatim. Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razi. Shîdâ: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.
  8. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 1758 – 1759.
[2] Lihat At-Tahrîr Wat-Tanwîr XXX/302.
[3] Maksudnya diangkat jenazah tersebut dan dipindahkan dari tangan ke tangan menuju ke atas sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan tanpa ada rasa malas dan lelah. Lihat penjelasannya di dalam Misykâtul-Mashâbîh V/649.
[4] Maksudnya seperti seseorang yang berada di bawah pohon di gurun pasir, dia hanya bersama ontanya yang membawa perbekalannya. Ketika dia terbangun, ternyata ontanya kabur. Kemudian ketika dia sudah mulai berputus asa, datang ontanya menghampirinya. Tentu saja orang yang mengalami kejadian seperti ini dia akan sangat bahagia.
[5] HR. An-Nasai no. 1833. Syaikh Al-Albani menghukumi shahih riwayat ini dalam Ash-Shahîhah no. 1309.
[6] Tafsîr Ibni Abi Hâtim X/3429-3430.
[7] Tafsîr ath-Thabari XXIV/424.
[8] HR. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya X/3431, Hakim dalam al-Mustadrak no. 6312 dan ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 10429. Imam adz-Dzahabi tidak mengomentari hadits ini. Penulis katakan, “Sanadnya berkumpul pada Marwan bin Syuja’ dari Salim bin ‘Ajlan dari Sa’id bin Jubair. Sanadnya hasan insya Allah, karena Marwan bin Syuja’ shadûq.”
[9] Tafsîr Ibni Katsîr VIII/400.
[10] Tafsîr Al-Baghawi VIII/425.
[11] Ar-Rûh. Ibnul-Qayyim, hlm. 220.
[12] Lihat Tafsir al-Baghawi VIII/280.
[13] Tafsîr ath-Thabari XVI/142.
[14] Tafsîr al-Baghawi IV/249.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9458-kembalilah-wahai-jiwa-yang-tenang.html